Kue Rangi: Ngidam Istri dan Petualangan Mencari Jajanan Betawi

Pedagang kue rangi sedang memasak kue rangi di atas cetakan kue yang dipanggang di atas api.

“Saya mau kue rangi,” pinta istriku suatu sore, suaranya lirih namun sarat akan keinginan seorang ibu hamil yang tengah mengandung buah hati kami. Perutnya yang semakin membuncit menjadi saksi bisu betapa kuatnya ikatan antara dirinya dan calon anak kami, termasuk urusan ngidam yang kadang kala unik.

“Kue rangi itu yang seperti apa, Sayang?” tanyaku, dahi berkerut mencoba membayangkan wujud kuliner yang disebutkan. Sebuah nama yang asing di telingaku.

Kue Rangi: Ngidam Istri dan Petualangan Mencari Jajanan Betawi 1

Dengan sabar, istriku mulai menjelaskan ciri-ciri kue yang tiba-tiba merajai benaknya. Ia menggambarkan bentuknya yang setengah lingkaran, aroma kelapa yang menggoda, dan teksturnya yang katanya unik.

“Ooooo, kue pancong,” celetukku, mencoba menebak berdasarkan deskripsinya. Gambaran cetakan dan kelapa parut memang langsung mengingatkanku pada jajanan Betawi yang satu itu.

“Bukaaaaaan!” serunya, nada bicaranya sedikit meninggi namun tetap diiringi senyum kecil yang membuatku gemas. Ya, aku mengaku salah. Kue pancong memang yang pertama kali melintas di benakku saat ia menyebutkan ciri-ciri kue rangi.

Cetakan setengah lingkaran yang khas dan taburan kelapa di dalam adonannya menjadi poin penting yang kuingat.

Sejujurnya, ada sedikit rasa malas setiap kali istriku menyampaikan daftar ngidamnya yang seringkali berupa makanan atau minuman yang entah di mana keberadaannya. Bukan tanpa alasan rasa malas itu muncul.

Pengalamanku menunjukkan bahwa setelah dengan susah payah aku mendapatkan apa pun yang diinginkannya, ujung-ujungnya ia hanya mencicipi sedikit. Setelah itu? Dengan polosnya ia akan menatapku dengan mata berbinar dan meminta bantuanku untuk “menghabiskan sisanya.”

Sebuah siklus yang berpotensi membuat lingkar pinggangku semakin bertambah. Ah, sudahlah. Demi istri tercinta dan calon buah hati, diet bisa ditunda. 😀

Petualangan Rasa di Jagakarsa: Mencari Jejak Kue Rangi yang Hilang

Dengan tekad bulat, demi mewujudkan keinginan sang istri, aku pun memulai “misi pencarian kue rangi” di sekitar daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan. Syukurlah, lokasinya tidak terlalu jauh dan tidak membuatku pusing tujuh keliling. Aku menyusuri area Kebun Binatang Ragunan yang biasanya ramai dengan berbagai penjual jajanan kaki lima. Instingku mengatakan, di sinilah kemungkinan besar aku bisa menemukan pedagang kue rangi.

Namun, keanehan terjadi. Jika di hari-hari biasa, pedagang kue rangi seolah menjamur di pinggir jalan, hari itu batang hidung mereka seolah ditelan bumi. “Duh, pada ngilang kemana nih tukang kue rangi?” gumamku dalam hati, rasa frustrasi mulai menyergap.

Setelah dua atau tiga hari melakukan pencarian intensif sepulang kerja, menyisir setiap sudut jalan yang mungkin ada pedagang jajanan khas Betawi, akhirnya penantianku membuahkan hasil. Di kejauhan, tampak seorang pedagang kue rangi dengan gerobak dagangannya yang sederhana namun penuh harapan.

Bertemu Sang Legenda: Kue Rangi, Si Manis Gurih Khas Betawi

Kue rangi, atau yang juga akrab disapa sagu rangi, ternyata memang jajanan tradisional khas Betawi, sama seperti kue pancong. Bahan dasarnya pun sederhana: tepung sagu dan kelapa parut. Adonan sederhana inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan kue berbentuk setengah lingkaran, sangat mirip dengan cetakan kue pancong yang sempat kukira.

Pedagang kue rangi yang masih setia menggunakan gerobak biasanya memanggang kue ini dengan menggunakan kayu bakar. Alasannya klasik namun efektif: agar kue matang merata dan tidak gosong, memberikan aroma smoky yang khas.

Setelah matang dan berwarna kecoklatan, kue rangi akan diolesi dengan saus atau pasta gula merah yang kental dan manis. Rasanya? Sebuah perpaduan sempurna antara gurihnya kelapa parut yang berpadu dengan manisnya gula merah yang legit. Benar-benar yummy! Harganya pun sangat bersahabat di kantong, hanya sekitar Rp 10.000 untuk satu porsi kebahagiaan rasa.

Dan seperti yang sudah kuduga, sesampainya di rumah, istriku hanya mencicipi beberapa gigitan dari kue yang sempat membuatnya penasaran dan terobsesi ini. Raut wajahnya menunjukkan kepuasan sesaat. Lalu, tatapan matanya beralih padaku, seolah mengatakan, “Nah, sisanya adalah tugasmu, Ayah.” Aku hanya bisa tersenyum pasrah. Demi istri dan calon anak, perut buncit pun tak jadi masalah. Yang penting, keinginan sang buah hati terpenuhi, meskipun lewat perantara ayahnya yang setia menghabiskan sisa ngidam.

Tinggalkan Balasan

*